Pelemahan Sistem Dolarisasi dan Skema Ekonomi Global 2030 Oleh : Dede Farhan Aulawi

Sistem dolarisasi telah menjadi tulang punggung ekonomi global sejak berakhirnya Perang Dunia II, terutama setelah kesepakatan Bretton Woods tahun 1944 yang menempatkan dolar Amerika Serikat (USD) sebagai mata uang cadangan utama dunia.
Namun, memasuki dekade 2030, dinamika geopolitik, teknologi finansial, dan perubahan tatanan ekonomi internasional mulai menandai era pelemahan dominasi dolar di kancah global.
Pelemahan sistem dolarisasi dipicu oleh berbagai faktor struktural dan strategis. Pertama, defisit fiskal Amerika Serikat yang terus meningkat menurunkan kepercayaan internasional terhadap stabilitas dolar.
Kedua, sanksi ekonomi sepihak AS terhadap negara-negara tertentu (seperti Rusia, Iran, dan Tiongkok) membuat banyak negara mencari alternatif pembayaran non-dolar untuk menghindari ketergantungan pada sistem keuangan yang dikendalikan AS.
Ketiga, kemajuan teknologi keuangan (fintech) dan mata uang digital bank sentral (CBDC) membuka peluang baru untuk sistem transaksi internasional yang lebih terdesentralisasi.
Kelompok BRICS (Brasil, Rusia, India, Tiongkok, dan Afrika Selatan) menjadi aktor utama dalam proses dedolarisasi global.
Melalui pembentukan sistem pembayaran lintas negara berbasis mata uang lokal dan penguatan cadangan emas, mereka berupaya menciptakan ekosistem keuangan multipolar.
Rusia dan Tiongkok, misalnya, telah mengembangkan sistem pembayaran alternatif seperti SPFS dan CIPS untuk menandingi sistem SWIFT yang berbasis dolar.
Pada 2030, tren ini semakin kuat dengan meningkatnya perdagangan energi dan komoditas strategis menggunakan yuan, rubel, atau bahkan mata uang digital BRICS yang sedang dikembangkan.
Skema Ekonomi Global Baru 2030
Dengan melemahnya dominasi dolar, dunia menuju skema ekonomi multipolar dan berbasis blok regional. Beberapa ciri utamanya antara lain :
- Diversifikasi cadangan devisa: Negara-negara menyimpan cadangan dalam berbagai mata uang utama seperti yuan, euro, dan yen, bukan hanya dolar.
- Perdagangan berbasis mata uang lokal dan digital: Sistem pembayaran lintas negara menggunakan platform blockchain yang transparan dan efisien.
- Ekonomi berbasis sumber daya dan energi hijau: Transisi menuju energi terbarukan dan bahan mentah strategis seperti litium dan nikel menjadi penentu kekuatan ekonomi baru.
- Integrasi ekonomi regional: ASEAN, Uni Eurasia, dan Uni Afrika memperkuat perdagangan intra-blok dengan kebijakan finansial yang lebih mandiri dari pengaruh dolar.
Pelemahan sistem dolarisasi memiliki dua sisi. Di satu sisi, ia mengurangi ketimpangan global yang selama ini dikuasai oleh AS melalui “senjata keuangan”.
Negara berkembang memperoleh ruang kedaulatan ekonomi yang lebih besar. Namun di sisi lain, transisi ke sistem multipolar juga dapat menimbulkan ketidakstabilan sementara karena kurangnya standar global yang seragam, fluktuasi nilai tukar, dan kompetisi antar sistem keuangan digital.
Dengan demikian, pada tahun 2030, dunia diperkirakan tidak lagi sepenuhnya tunduk pada sistem dolarisasi tunggal.
Sebaliknya, ekonomi global akan bergerak menuju tatanan finansial multipolar, di mana kekuatan ekonomi besar berbagi peran dalam menentukan arah sistem moneter dunia.
Transisi ini menandai berakhirnya “era dolar tunggal” dan lahirnya arsitektur ekonomi global baru yang lebih beragam, inklusif, dan berorientasi pada keseimbangan kekuasaan ekonomi antar negara.

