“Aroma Skandal Monopoli Seragam di Pessel : Kadis Pendidikan Diduga Terlibat Rekomendasi Lingkaran Kekuasaan” Di Tengah Tsunami Informasi, Ruang Konfirmasi Justru Menghindar!!

Pesisir Selatan, MEDIABUSER.CO.ID – Di tengah derasnya arus Tsunami informasi virus dusta meracuni udara pada publikasi dan maraknya isu dugaan praktik monopoli pengadaan seragam batik serta ijazah SD–SMP di Kabupaten Pesisir Selatan, aroma keterlibatan pejabat kian menyeruak.
Kepala Dinas Pendidikan Pessel, Salim Muhaimin, S.Pd, M.Si, disebut-sebut ikut terlibat dalam lingkaran kekuasaan yang mengarahkan proyek miliaran rupiah itu ke pihak tertentu. Namun, ketika dimintai konfirmasi, sang Kadis justru memilih bungkam.
Kasus ini mencuat usai pemberitaan investigasi berjudul “Skandal Monopoli Seragam dan Ijazah di Pessel: Diduga Bermuatan Politik, Penjahit & Percetakan Lokal Kian Terpuruk” tayang di MEDIABUSER.CO.ID beberapa waktu lalu.
Dugaan ini semakin kuat setelah Ketua Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS) Pessel, NP Dt. Gr, mengakui pernah dipanggil oleh Intel Polres Pesisir Selatan untuk memberikan keterangan terkait praktik pengadaan tersebut.
Menurut informasi yang diterima tim investigasi, dalam sebuah pertemuan di Kecamatan Lengayang, Sabtu (11/10/2025), Ketua MKKS mengungkap bahwa persoalan pengadaan batik dan ijazah tersebut telah “diamankan” oleh pihak tertentu, termasuk seorang bernama Feby serta Kadis Pendidikan Pessel.
Bahkan, ia sempat berpesan agar media dan LSM “tidak memperbesar kasus ini agar tidak membusuk seperti kudis.”
Pernyataan itu sontak memantik reaksi keras dari Ketua Forum Bersama LSM Laskar Merah Putih (FB-LMP) Kabupaten Pesisir Selatan, Aidul Gaspur, Tanjung.
“Kami menolak segala bentuk tawaran damai. Kami berdiri untuk menjalankan fungsi sosial kontrol. Masyarakat Pessel tidak akan diam melihat praktik kotor yang merusak sistem pendidikan,” tegas Aidul kepada MEDIABUSER.CO.ID.
Aidul menambahkan bahwa kasus ini bukan hanya soal seragam, melainkan soal moral dan keadilan publik.
“Kami sudah menyiapkan laporan ke Polres, Kejaksaan, hingga BPK dan KPK. Dunia pendidikan tidak boleh dijadikan lahan politik,” ujarnya lagi.
Ruang Konfirmasi Ditutup Rapat
Tim investigasi media berupaya meminta mengkonfirmasikan langsung kepada Kadis Pendidikan Pessel, Salim Muhaimin. Namun, sikap sang pejabat publik justru menimbulkan tanda tanya.
Saat didatangi ke kantor Dinas Pendidikan, staf resepsionis menyebut Salim sedang berada di Inspektorat. Saat dihubungi melalui telepon dan pesan singkat berkali-kali, ia tak kunjung memberikan jawaban jelas.
“Saya masih di Tarusan, insyaallah nanti ke kantor,” tulisnya singkat melalui pesan singkat, tanpa ada kejelasan lebih lanjut. Hingga berita ini dipublikasikan, ruang konfirmasi dari pihak Dinas Pendidikan tetap tertutup rapat.
Aroma Politik dan Proyek Bermiliar
Dugaan keterlibatan lingkaran kekuasaan dalam proyek ini makin kuat setelah muncul informasi adanya pengaruh dari anggota DPR RI Lisda Rawdha Hendrajoni, yang disebut-sebut ikut mempengaruhi kebijakan pengadaan melalui Dinas Pendidikan.
“Pengadaan diarahkan kepada pihak yang dekat dengan lingkaran politik kekuasaan. Akibatnya, penjahit dan percetakan lokal yang dulu hidup dari proyek sekolah kini terpuruk,” ungkap Aidul.
Harga Murah, Kualitas Murahan
Hasil penelusuran tim investigasi di sejumlah sekolah menunjukkan, harga seragam batik yang dipasok pihak tertentu berkisar Rp 60 ribu hingga Rp 70 ribu per stel. Namun, mutu kain dinilai rendah, tipis, dan mudah sobek.
“Kainnya tipis, jahitannya kasar. Jauh berbeda dari hasil penjahit lokal,” keluh salah satu kepala sekolah yang meminta identitasnya dirahasiakan.
Berpotensi Langgar Hukum
Praktik seperti ini berpotensi melanggar UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, serta Perpres No. 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang menekankan asas transparansi dan keadilan.
LSM FB-LMP mendesak aparat penegak hukum untuk menindak tegas setiap pihak yang terlibat.
“Kami meminta Polres, Kejaksaan, hingga lembaga antikorupsi turun tangan. Dunia pendidikan jangan dijadikan alat politik atau mesin keuntungan,” tegas Aidul menutup pernyataannya.
Sementara itu, Lisda Rawdha Hendrajoni hingga kini belum memberikan tanggapan, meski telah dihubungi melalui panggilan dan pesan WhatsApp sebanyak tiga kali.
Kasus ini kini menjadi perhatian publik luas. Masyarakat berharap aparat penegak hukum bergerak cepat agar dunia pendidikan di Pesisir Selatan bersih dari praktik monopoli dan pengaruh kekuasaan. (BsC)

