
Penjaringan Jakut Dinas Cipta Karya, Segera tertibkan Bangunan Tidak Sesuai Perizinan IMB Mendirikan Rumah tinggal Alih peruntukan Ibadah.
JAKARTA, MEDIABUSER.COM – IMB diterbitkan atas setiap perencanaan teknis bangunan rumah tinggal yang telah memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan teknis bangunan tersebut.
Apabila pelaksanaan pembangunan terjadi ke tidak sesuaian terhadap IMB dan/atau menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan, maka pengawas pelaksanaan wajib ditindaklanjuti menghentikan bangunan rumah tinggal Alih fungsi beribadah Klenteng. Sabtu, 18 Maret 2023.
Kecamatan Penjaringan Jakarta Utara Dinas Cipta Karya, Tata Ruang Dan Pertanahan segera ambil sikap tegas menghentikan kegiatan bangunan bermasalah letak Jl. Vikamas tengah lX Blok H – V KAV No. 8. RT. 014 RW.005 Kel. Kapuk Muara Kecamatan Penjaringan Jakarta Utara mendiri Baru Rumah tinggal 2 Lantai.
Selain lokasi tidak jauh dari bangunan bermasalah, pantauan Tim Media Buser diduga tidak sesuai dengan peruntukan bangunan tersebut letak di Jl. Vikamas Utara Raya Blok G-ll No. 4 RT. 013 RW. 05 Kel. Kapuk Muara, Kecamatan Penjaringan Jakarta Utara mendiri Baru Rumah tinggal 2 Lantai.
Jika terbukti ada ke tidak sesuaian, setiap pemilik bangunan tempat tinggal disalahgunakan wajib menerima sangsi ditindaklanjuti pihak yang berwajib. pengguna bangunan rumah tinggal, penyedia jasa konstruksi bangunan rumah tinggal dapat dipidana dan juga dapat dikenakan sanksi administrasi.
Lalu bagaimana dengan bangunan gedungnya? Apakah dilakukan pembongkaran? Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini.
Jika ada pelaksanaan ibadah di rumah ibadah yang tidak berizin pada suatu lingkungan perumahan, bolehkah kami sebagai warga melarang hal itu?.
Bagaimana cara menyelesaikan masalah tersebut menurut hukum? Adakah sanksinya terhadap pihak yang melakukan ibadah di rumah ibadah yang tidak berizin?
Rumah Ibadah Harus Berizinnya tersendiri karena Rumah ibadah menurut Pasal 1 angka 3 Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2006 dan Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama,
Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat (“Peraturan Bersama 2 Menteri”) adalah bangunan yang memiliki ciri-ciri tertentu yang khusus dipergunakan untuk beribadat bagi para pemeluk masing-masing agama secara permanen, tidak termasuk tempat ibadat keluarga.
Bangunan dimaksud mengacu ke definisi bangunan yang terdapat di Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung (“UU 28/2002”), yang bunyinya:
Bangunan gedung adalah wujud fisik hasil pekerjaan konstruksi yang menyatu dengan tempat kedudukannya, sebagian atau seluruhnya berada di atas dan/atau di dalam tanah dan/atau air, yang berfungsi sebagai tempat manusia melakukan kegiatannya, baik untuk hunian atau tempat tinggal, kegiatan keagamaan, kegiatan usaha, kegiatan sosial, budaya, maupun kegiatan khusus.
Fungsi bangunan untuk kegiatan keagamaan meliputi masjid (termasuk mushola), gereja (termasuk kapel), pura, wihara, dan kelenteng.
Pendirian rumah ibadat didasarkan pada keperluan nyata dan sungguh-sungguh berdasarkan komposisi jumlah penduduk bagi pelayanan umat beragama yang bersangkutan di wilayah kelurahan/desa.
Dalam mendirikan rumah ibadat tesebut, harus dilakukan dengan tetap memperhatikan poin-poin berikut: menjaga kerukunan umat beragama; tidak mengganggu ketenteraman dan ketertiban umum serta mematuhi peraturan perundang-undangan.
Dalam hal keperluan nyata bagi pelayanan umat beragama di wilayah kelurahan/desa tidak terpenuhi, pertimbangan komposisi jumlah penduduk yang digunakan adalah batas wilayah Kecamatan atau kabupaten/kota atau provinsi.
Adapun dalam mendirikan rumah ibadat harus memenuhi syarat persyaratan administratif dan persyaratan teknis bangunan gedung dan juga syarat khusus yang telah ditentukan oleh Pasal 14 ayat (1) dan (2) Peraturan Bersama 2 Menteri sebagaimana pernah dijelaskan di artikel Persyaratan Pendirian Rumah Ibadat, yaitu:
Daftar nama dan Kartu Tanda Penduduk (“KTP’) pengguna rumah ibadat paling sedikit 90 orang yang disahkan oleh pejabat setempat sesuai dengan tingkat batas wilayah; dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 orang yang disahkan oleh lurah/kepala desa; rekomendasi tertulis kepala kantor departemen agama kabupaten/kota; dan rekomendasi tertulis Forum Kerukunan Umat Beragama kabupaten/kota.
Jika persyaratan 90 nama dan KTP pengguna rumah ibadat terpenuhi tetapi syarat dukungan masyarakat setempat belum terpenuhi, maka pemerintah daerah berkewajiban memfasilitasi tersedianya lokasi pembangunan rumah ibadat.
Permohonan pendirian diajukan oleh panitia pembangunan rumah ibadat kepada bupati/walikota untuk memperoleh Izin Mendirikan Bangunan (“IMB”) rumah ibadah.
Panitia pembangunan rumah ibadah adalah panitia yang dibentuk oleh umat beragama, ormas keagamaan atau pengurus rumah ibadah.
Kemudian, Walikota memberikan keputusan paling lambat 90 hari sejak permohonan pendirian rumah ibadat diajukan oleh panitia.
Jadi berdasarkan penjelasan tersebut, pada dasarnya mendirikan sebuah rumah ibadah harus mengantongi izin dari pihak yang berwenang Walikota.
Penyelesaian Masalah Jika Keberatan atas Rumah Ibadah Tak Berizin Bolehkah melarang orang beribadah di rumah ibadah yang tidak berizin?
Pada dasarnya tidak ada larangan beribadah bahkan Negara Republik Indonesia menjamin kebebasan beragama setiap orang dan hak setiap orang untuk beribadah sesuai dengan agamanya.
Sebagaimana pernah diulas pada artikel Sanksi Hukum Jika Menghalangi Orang Melaksanakan Ibadah, Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 (“UUD 1945”), menjamin hal itu.
Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.(TIM/RED)